Pengertian
Adversity quotient adalah bentuk kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. AQ juga dapat digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang penuh tantangan.
Hakikat Kecerdasan Adversity
Agar dapat bersaing dengan orang-orang, kita harus memiliki sebuah keterampilan lain yang membuat kita berbeda dari orang lain dan mungkin hal ini juga yang dapat menjadi ciri khas dari diri kita. Kemahiran kita dalam kesiapan menghadapi tantangan atau adversity quation adalah salah satu hal yang mendukung kita menjadi sukses. AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan suatu hal dengan tantangannya. Jika seseorang yang memiliki AQ lebih tinggi maka dia cenderung tidak akan menyalahkan orang lain karena dia merasa bahwa kegagalan yang dia lakukan adalah bagian dari kesuksesan yang tertunda dan dia juga merasa bahwa dia siap untuk menghadapi tantangan yang akan ditemukan serta siap untuk menyelesaikan masalah yang akan dia hadapi.
Tipe Manusia
Akan ada 3 tipe orang yang dapat kita temui dalam berbagai kondisi, yaitu:
- Quitters
Yaitu dianalogikan sebaga orang yang sekedarnya hanya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada serba-serbi yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan. Tipe quitter memiliki cirri-ciri:
-
- Memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti
- Menghentikan pendakian
- Menolak kesempatan yang telah diberikan
- Meninggalkan dorongan inti untuk merdeka
- Murung, sinis, mudah menyalahkan orang lain, sirik
- Camper
Yaitu golongan orang yang bersifat banyak perhitungan. Walaupun memiliki keberanian menghadapi tantangan namun selalu memertimbangkan resiko yang akan dihadapi. golongan ini tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu yang secara terukur akan mengalami resiko. Tipe ini memiliki ciri-ciri:
-
- Sudah melakukan sedikit lalu berhenti ditengah jalan
- Melepaskan kesempatan untuk maju
- Mudah puas dengan apa yang telah dicapai
- Climber
Yaitu golongan yang ulet dengan segala resiko yang mungkin akan muncul sehingga harus dia hadapi serta mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. tipe orang yang memiliki ciri-ciri:
-
- Orang yang memiliki pikiran terus tentang peluang
- Tidak memikirkan suatu hal sebagai hambatan
- Tidak menyesali kebelumberhasilan
- Pembelajar seumur hidup
AQ mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2) merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.
Neuro Linguistic Program
Otak merupakan pusat sistem saraf yang ada dalam tubuh manusia. Otak juga mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan mengatur pikiran kita. setelah otak bekerja, maka yang dipikirkan dilanjutkan kedalam sikap yang berarti pernyataan terhadap objek, orang atau peristiwa. komponen sifat adalah kesadaran, perasaan dan perilaku. Sikap yang ditimbulkan mempengaruhi tingkah laku seseorang yang selanjutnya menghasilkan sesuatu. Ketika kita berpikiran positif maka hasil yang didapat juga hasil yang positif, namun jika kita berpikiran tentang hal yang negatif maka kita juga akan mendapatkan hasil yang negatif. oleh karena itu, berpikirlah positif agar mendapatkan hasil yang positif juga yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Peranan Adversity Quotient dalam Kehidupan
Adversity quotient atau yang lebih dikenal dengan bagaimana kesiapan kita dalam menghadapi tantangan ternyata cukup berpengaruh dalam kehidupan. Ya bagaimana tidak, jika seseorang yang memiliki IQ tinggi namun tidak dapat mengimbangi dengan EQ atau kecerdasan lainnya, yang salah satunya adalah tentang kesiapan menghadapi tantangan, maka orang tersebut belum tentulah akan menjadi sukses. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi AQ, yaitu:
- Daya saing
Jason Sattefield dan Martin Seligman (dalam Stoltz, 2005. h. 93), menemukan individu yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan hati-hati. Oleh karena itu, kesiapan dalam menghadapi tantangan sangatlah dibutuhkan agar dapat mencapai kesuksesan.
- Kreativitas
Joel Barker (dalam Stoltz, 2005. h. 94), kreativitas muncul dalam keputusasaan, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Joel Barker menemukan orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif. Oleh karena itu, kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang oleh hal-hal yang tidak pasti.
- Motivasi
Dari penelitian Stoltz (2005) ditemukan orang-orang yang AQ-nya tinggi dianggap sebagi orang-orang yang paling memiliki motivasi.
- Mengambil Resiko
Satterfield dan Seligman (dalam Stoltz, 2005) menemukan bahwa individu yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif, bersedia mengambil banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian.
- Perbaikan
Perbaikan terus-menerus perlu dilakukan supaya individu bisa bertahan hidup dan menjadi pribadi yang lebih baik. Selain itu juga karena individu yang memiliki AQ yang lebih tinggi menjadi lebih baik. Sedangkan individu yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
- Ketekunan
Ketekunan merupakan inti untuk maju (pendakian) dan AQ individu. Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus walaupun dihadapkan padakemunduran-kemunduran atau kegagalan.
- Belajar
Carol Dweck (dalam Stoltz, 2005), membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.